Journal article
  
  
  
  
  
  
  
  
  
    Diskursus tentang perencanaan dan pengembangan wilayah di Indonesia  menjadi semakin menarik setalah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22  Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan  pemberlakuan undang-undang tentang pemerintahan daerah tersebut, maka  berbagai daerah menuntut pemekaran wilayah yang berlansung secara  massif. Namun, realitas menunjukkan bahwa upaya untuk melakukan  pemekaran, sesungguhnya tidak didasari pada ide dan gagasan substansi  dari pemekaran wilayah itu sendiri. Kondisi ini terlihat jelas dengan  jalur yang ditempuh dalam mendorong gagasan pemekaran wilayah lebih  mempertimbangkan aspek politik daripada aspek substansinya. Dalam kajian  ilmu perencanaan dan pengembangan wilayah, kebijakan otonomi daerah   memiliki semangat untuk membangun keberimbangan pembangunan antar  wilayah atau desa-kota. Keberimbangan pembangunan yang dimaksudkan  adalah dengan adanya pemekaran wilayah, maka alokasi sumberdaya (alam,  manusia, sosial dan buatan) akan terdistribusi secara merata sehingga  kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Akan tetapi, fakta menunjukkan  bahwa tujuan luhur pemekaran wilayah seringkali mengalami kesalahan  pemaknaan, sehingga tujuan mensejahterakan masyarakat mengalami  kemandekan, bahkan cenderung gagal total. Hal ini sebagaimana  dijelaskan, Juanda (2008) bahwa tujuan pembentukan daerah otonom baru  adalah untuk mensejahterakan masyarakat melalui peningkatan efisiensi  dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan pelayanan  publik. Namun pemekaran juga seringkali menimbulkan berbagai  permasalahan karena kurang memperhatikan aspek-aspek penting lainnya,  seperti aspek sosial, ekonomi, keuangan dan kemampuan bertahan dalam  perkembangannnya, sehingga menyebabkan kontra-produktif terhadap otonomi  daerah. Pada hakikatnya, pemekaran wilayah harus mengedepankan  aspek-aspek normatif yang telah dirumuskan, baik dalam undang-undang itu  sendiri maupun peraturan pemerintah tentang syarat-syarat pemekaran  wilayah. Namun hal penting yang tidak dapat diabaikan dalam mendorong  pemekaran wilayah adalah aspirasi masyarakat menjadi sebuah keharusan  untuk turut serta dipertimbangkan sehingga protes dan atau resistensi  penolakan warga pasca pemekaran atau penggabungan wilayah yang  seringkali menghiasi daerah-daerag pemekaran dapat dihindarkan. Sebab,  fakta menunujukkan berbagai protes dan penolakan yang dilakukan oleh  warga masyarakat atas ide pemekaran maupun penggabungan wilayah  diberbagai daerah akibat dari proses pemekaran wilayah didominasi oleh  elite atau kelompok-kelompok tertentu tanpa melibatkan peran serta atau  keterlibatan masyarakat secara aktif. Fenomena pemekaran dan  penggabungan wilayah yang mengakibatkan penolakan warga masyarakat  akibat dari pengabaian aspiarasi masyarakat terjadi di Provinsi Maluku  Utara. Kasus ini terjadi pada masyarakat enam desa sengketa yang  diperebutkan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah  Kabupaten Halmahera Utara pada saat ini. Penolakan warga masyarakat enam  desa atas gagasan pemekaran dan penggabungan wilayah lebih disebabkan  aspirasi masyarakat enam desa yang sejak awal menolak untuk menjadi  bagian dari wilayah Kecamatan Malifut dipaksakan oleh pemerintah untuk  tetap menjadi bagian dari Kecamatan Malifut yang dibentuk melalui  Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1999. Penolakan ini juga didasari  oleh berbagai alasan, diantaranya adalah kedekatan emosional, historis  dan identitas wilayah. Dimana wilayah enam desa, sebelum keluar PP Nomor  42 Tahun 1999 merupakan bagian wilayah administratif Kecamatan Jailolo,  sehingga dari sisi kedekatan emosional dan historis, masyarakat di  wilayah enam desa menganggap bahwa daerah ini (baca: enam desa)  dibesarkan oleh jailolo sehingga harus tetap menjadi bagian dari  Kecamatan Jailolo yang selanjutnya adalah bagian dari wilayah Kabupaten  Halmahera Barat. Sebagaimana dijelaskana sebelumnya, bahwa tujuan  pembentukan daerah otonom baru adalah peningkatan pelayanan kepada  masyarakat, percepatan pertumbuhan demokrasi, percepatan pelaksanaan  pembangunanan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi  daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan  yang serasi baik antara pemerintah pusat dan daerah, maupun sesame  pemerintah daerah. Namun, harus jujur dikatakan bahwa gagasan luhur  pemekaran wilayah sebagaimana diatas, terkadang tercoreng oleh adanya  arogansi pemerintah daerah. Hal tersebut, dapat terlihat pada berbagai  permasalahan yang berkaitan dengan pemekaran wilayah, se-misal konflik  batas wilayah, penguasaan sumberdaya alam antar sesama pemerintah daerah  yang banyak belum terselesaikan. Kelambanan ini dikarenakan lemahnya  pengambilan keputusan pada level elite lokal (baca: Gubernur) yang  merupakan wakil pemerintah pusat di daerah, juga dikarenakan proses  penyelesaian berbagai permasalahan ini lebih dominan menggunakan  pendekatan politik, sehingga terdapat pihak yang dikorbankan. Pada aras  ini rakyatlah yang kemudian menjadi korban dari ketidak-bijaknya para  elite-elite kekuasaan di daerah. Menurut PP nomor 129 tahun 2000 tentang  persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan  penggabungan daerah, tujuan pemekaran adalah memaksimalkan pelayanan  publik, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendemokratisasi  masyarakat, efisiensi pemerintahan dan dukungan pembangunan potensi  ekonomi rakyat. Namun dalam implementasinya, berbagai tujuan mulia  tersebut belum tercapai secara maksimal. Hal mana dapat dilihat pada  evaluasi penyelenggaraan pemerintahaan di daerah-daerah yang dilakukan  oleh Departemen Dalam Negeri  akhir tahun 2005, yang menjelaskan bahwa,  penyelenggaraan pemerintahan daerah-daerah pemekaran belum menunjukkan  kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum pemekaran (Laporan  Depdagri, 2006; Dikutip Malia 2009). Kenyataan tersebut selain  disebabkan oleh beberapa kendala tekhnis administrasi dan fasilitas  pendukung pelayanan yang belum memadai, juga terbatasnya komitmen  pimpinan daerah untuk menciptakan sistem dan pelaksanaan pelayanan  publik yang transparan, accountable, dan professional. Sebenarnya banyak  aspek yang dapat dijadikan dasar dalam penentuan kebijakan pemekaran  wilayah, namun sepertinya motivasi kalkulasi secara politik yang  seringkali menjadi alasan dominan. Bahkan tak jarang persetujuan  terhadap adanya pemekaran wilayah diberikan untuk meredam konflik. Hal  lainnya adalah otonomi seringkali menjadi suatu komoditas yang bisa  diperdagangkan untuk memberikan kekuasaan pada daerah tertentu. Meskipun  tidak semua kasus, namun pada beberapa kasus pemekaran wilayah, memang  benar menjadi tuntutan masyarakat akan perlunya otonomi daerah, tetapi  tetap saja, pada faktanya kaum elite di daerah yang diuntungkan. Dan  implikasi lanjutannya adalah masyarakat tidak pernah menjadi sejahtera  serta perkembangan ekonomi wilayahpun menjadi tersendat-sendat (Sayori,  2009)