Recently Published
Most Viewed
Perbuatan Pungutan Liar (Pungli) Sebagai Tindak Pidana Korupsi (Analisis Pasal 2 Ayat (1) Dan Pasal 3 UU. RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Telah Diubah Dan Ditambah Dalam UU. RI Nomor 20 Tahun 2001) Image
Journal article

Perbuatan Pungutan Liar (Pungli) Sebagai Tindak Pidana Korupsi (Analisis Pasal 2 Ayat (1) Dan Pasal 3 UU. RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Telah Diubah Dan Ditambah Dalam UU. RI Nomor 20 Tahun 2001)

2001)OLEH:JULI ANTORO HUTAPEANIM. A2021141005ABSTRAKTindak Pidana Korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dalam penanganan memerlukan tekad dan USAha yang kuat dari pemerintah tidak terkecuali aparat penegak hukum. Sejalan dengan kemajuan perkembangan zaman pelaku Tindak Pidana Korupsi tidak lagi melakukan perbuatannya dengan cara – cara yang konvensional dan sederhana, tetapi saat ini sudah menggunakan cara – cara yang memanfaatkan perkembangan teknologi dan komunikasi. Saat ini pelaku Tindak Pidana korupsi sudah berasal dari berbagai kalangan baik pegawai negeri maupun swasta bahkan penyelenggara negara, terkait dengan pelaku kejahatan ini muncul pula modus Tindak Pidana Korupsi dengan melakukan Pungutan Liar (Pungli) pada pelaksanaan program dan kebijakan pemerintah.Terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi dengan modus melakuan Pungutan Liar (Pungli) saat dilakukan upaya penegakan hukumnya dengan menerapkan ketentuan Pasal 12 huruf e Undang – Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dalam Undang – Undang RI Nomor 20 Tahun 2001, namun dalam praktiknya dipersidangan Penuntut Umum mengalami kesulitan dalam membuktikan adanya unsur “memaksa” yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.2Hambatan dan kesulitan yang dihadapi tersebut membuat aparat penegak hukum yang menangani kasus Tindak Pidana Korupsi dengan modus melakukan perbuatan Pungutan Liar (Pungli) harus berpikir lebih kritis untuk membuat terobosan melapis pasal – pasal baru yang dipersangkakan kepada pelaku, tidak lagi terbatas pada Pasal 12 huruf e sebagaimana tersebut di atas.Penelitian ilmiah ini hadir untuk memberikan gambaran dan sudut pandang lain dalam upaya penegakan hukum terhadap pelaku – pelaku Tindak Pidana Korupsi dengan menggunakan modus perbuatan Pungutan Liar (Pungli) dengan mencoba membuat alternative pengenaan pasal lain diluar Pasal 12 huruf e yang saat ini masih terus diterapkan dalam menangani kasus Pungutan Liar oleh oknum Pegawai Negeri maupun Penyelenggara Negara.Hadirnya pemikiran dari penulis untuk menggunakan ketentuan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang – Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dalam Undang – Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 hendaknya dipandang sebagai langkah penegakan hukum yang progresif dengan tetap berpegang pada norma undang – undang bukan dalam kerangka mencari – cari kesalahan pelaku.Diharapkan dengan terbukanya wawasan aparat penegak hukum baik Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim dilembaga peradilan, membuat pembuktian dan penjeratan pelaku – pelaku Tindak Pidana Korupsi dengan modus melakukan Pungutan Liar (Pungli) kepada masyarakat dapat lebih mudah dijerat dan dijatuhkan sanksi yang setimpal dengan perbuatannya, serta dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku dan upaya pencegahan (preventif) bagi calon pelaku lainnya.Kata kunci : Pungutan Liar, Pasal 12 huruf e, Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3, kecurangan, sogokan, tindak pidana korupsi, Penegakan Hukum Progresif.3ABSTRACTOne of the extra ordinary crime is corruption, which need extra effort and will from law enforcement and others parties that involved. As the world develop, corruption have been develop also, this can be seen from the method, which use advance technology and the development of communication. Nowadays, the suspects of corruption crime from variety of working field in the government, from ordinary employee to higher rank officers, such as minister or governor, and even private field employee. As the suspect comes from variety field of job, the methods or modus operation also variety, one of it is pungutan liar or extortion for certain government program or policy.For corruption suspect with modus operandi extortion, the government has certain act, which called Act 12 e Law 31 Year 1999 about Corruption Crime Act which change and add up with Law 20 year 2001, but in the field prosecutors faced difficulty in the process of verification, the prosecutors hard improve that extortion have bees done by coercion or not.The difficulties that the prosecutor face, make another law enforcement have to be more conscientious and critical for extortion, and be able to make new acts that can cover or overcome all kinds of corruption acts. This research is use to give a certain description and new point of view towards extortion and how to overcome it; also from this research the writer able to make new alternative for extortion, besides from Act 12 e, which still use by law enforcement for extortion case.With this research, the writer use Law 31 Year 1999 about Corruption Crime Act, Act 2 number 1 and Act 3, which change and add up with Law 20 year 2001, should see how law enforcement take action towards the corruption crime suspect and new modus operandi of the corruption crime as one of the act from progressive enforcement law, and not using the law as wrongdoing with false accused to the suspect.With this research, the writer expected all the readers, especially for all law enforcements, such as prosecutors, judges, police investigators, and so on. So, all the readers able to describe the extortion's evidence and without false accused towards the suspect; beside that the society will be easy to recognised extortion act toward them or what happened around the society itself. Besides that, the suspects will punished according their action, and warned the others not to do extortion as a preventing action for the law enforcements.Glossary: Extortion, Act12 e, Act 2 number (1) or Act 3, Progressive Law Enforcement.
Kajian Hukum Klaim Asuransi Kur (Kredit USAha Rakyat) pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang Tidak Dibayarkan oleh Perum Jamkrindo dan PT. Askrindo Image
Journal article

Kajian Hukum Klaim Asuransi Kur (Kredit USAha Rakyat) pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang Tidak Dibayarkan oleh Perum Jamkrindo dan PT. Askrindo

Dalam rangka mendukung Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM telah dilakukan penandatangan Nota Kesepahaman Bersama (Memorandum of Understanding) tentang Penjaminan Kredit/Pembiayaan Kepada Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi pada tanggal 9 Oktober 2007 antara: Pelaksana Teknis Program, yaitu (Departemen Keuangan, Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, dengan Perusahaan Penjamin yaitu (Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo), dan PT. Asuransi Kredit Indonesia ( Askrindo)), dan Bank Pemberi Kredit/Pembiayaan yaitu (PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT. Tabungan Negara (Persero) Tbk, Bank Bukopin Tbk, dan PT. Bank Syariah Mandiri). Penandatanganan MOU Tersebut disaksikanoleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Gubernur Bank Indonesia, dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara.Metode penelitian menggunakan metode normatif dengan pendekatan hukum sosiologis yaitu mengkaji dari Perundang-undangan dan aturan hukum yang disesuaikan dengan praktek dan fenomena yang terjadi di masyarakat. Data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan yaitu wawancara dan data sekunder yang berupa studi kepustakaan. Analisa yang digunakan adalah deskriptif analisis yang penarikan kesimpulan secara deduktif.Penjaminan melibatkan 3 pihak (Penerima Jaminan, Terjamin, Penjamin). Timbulnya Hak Klaim dapat diajukan kepada Perusahaan Penjamin setelah Perjanjian kredit jatuh tempo dan Debitur KUR tidak melunasi kewajiban pengembalian pinjamannya kepada Bank BRI, dalam hal ini debitur telah melakukan ingkar janji atau wanprestasi karena tidak melaksankan kewajibannya kepada Bank BRI, atau KUR yang2bersangkutan dalam kolektibilitas kredit 4 (diragukan) sesuai ketentuan Bank Indonesia, atau Keadaan insolvent yang di nyatakan dengan LKN (Lembaran Kunjungan Nasabah) dan surat peringatan tunggakan 1, 2 dan 3.Ketentuan Hukum bagi Perusahaan asuransi yang melakukan tindakan memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan keterlambatan penyelesaian atau pembayaran klaim asuransi dapat dikenai sanksi berupa peringatan, pembatasan kegiatan USAha, dan sanksi pencabutan izin USAha. Jika kemudian Perusahaan asuransi tetap tidak membayarkan klaim asuransi yang telah disetujui tersebut, BRI dapat mengajukan gugatan perdata atas dasar wanprestasi. Hal ini karena dasar dari asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian.Alasan Lembaga Penjamin yaitu Perum Jamkrindo dan PT. Askrindo tidak membayarkan klaim yang di ajukan Bank BRI di karenkan alasan pertama berkas yang diajukan telah kadaluarsa karena telah melewati masa melengkapi berkas klaim dan alasan kedua adalah debitur pernah kredit sebelum tanggal realisasi atau debitur menerima uang dari bank sebelum akad kredit
Suggested For You
Peran Negara dalam Pengelolaan Zakat Umat Islam di Indonesia Image
Journal article

Peran Negara dalam Pengelolaan Zakat Umat Islam di Indonesia

Zakat is one of the pillars of Islam that its implementation is based on sharia / Islamic law. Aside from being a ritual worship, zakat is also a social worship and has a political dimension linked to the involvement of the state in its management. Zakat management has led to a formal, collective, organized and permanent structure since the time of Prophet Muhammad peace be upon him. As the development of Islamic territory, the increasingly advanced level of the economy and the increasingly complex government structure, zakat management policies changed dynamically according to the changing times. Forms of zakat management and state involvement in the management of zakat also vary. The management of zakat in Indonesia has also developed in such a way. As a country that has the largest Muslim population in the world, the issue of zakat became inseparable from the social life of Indonesian society. The State of Indonesia is not a state of religion / Islamic state, where Islamic Shari'a is used as the foundation of the constitution of the state, but a democracy that makes religious values the foundation of the constitution. In countries which make Islam the foundation of the state constitution, the implementation of zakat is an obligation. There is coercion from the state to the citizens to pay zakat and there are sanctions for the negligence of zakat payment. In these countries, zakat is incorporated into the state's financial system, it can even be regarded as a compulsory tax for Muslims because it does not impose tax on Muslims except zakat. In writing this paper, the authors focus the problem on : "What is the role of the state in the management of Muslims‟ zakat in Indonesia?". Based on the results of the discussion, the authors conclude that the state does not force against the citizens of Indonesia in paying zakat because the payment of zakat in Indonesia is voluntary. However, the state plays a role in the management of zakat because it deals with the public interest in which zakat funds from Muslims are collected and managed and for the purpose of the management is achieved and no rights of Muslims are violated. In terms of Islamic zakat management in Indonesia, the state acts as regulator, manager and supervisor.
Read more articles