Recently Published
Most Viewed
Karakteristik Morfologi Dasar Laut dan Hubungannya dengan Kecepatan Arus Laut di Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau Image
Journal article

Karakteristik Morfologi Dasar Laut dan Hubungannya dengan Kecepatan Arus Laut di Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau

Kondisi morfologi dasar laut dari suatu perairan khususnya di selat dapat mempengaruhi kecepatan arus laut. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki banyak pulau dan selat. Bertambahnya kecepatan arus laut dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber energi yang ramah lingkungan. Selat Lampa yang berada di Pulau Natuna merupakan salah satu wilayah dari pulau-pulau kecil di Provinsi Kepulauan Riau yang masih mengalami krisis energi listrik. Hasil pengukuran kedalaman laut di lokasi penelitian secara keseluruhan berkisar antara 0 meter dan 59,59 meter. Dari hasil penelitian diketahui bentuk morfologi bawah laut pada lokasi ini pada umumnya relatif landai dengan kemiringan sekitar 5o– 10o. Namun pada bagian selat antara Pulau Setanau dan Pulau Setahi memiliki morfologi yang agak curam yang ditunjukkan oleh kontur yang lebih rapat dengan kedalaman berkisar 5 meter sampai dengan 30 meter. Hasil pengukuran dan pemodelan kecepatan arus laut menunjukkan bahwa pada lokasi selat antara Pulau Setanau dan Pulau Setahi memiliki kecepatan arus laut berkisar antara 0,3 meter/detik sampai dengan 1,28 meter/detik. Sehingga lokasi ini sesuai untuk penempatan turbin pembangkit listrik tenaga arus laut.Kata Kunci : Morfologi dasar laut, Kecepatan arus laut, Energi arus laut, Pulau-pulau kecil terluar, Selat Lampa, Pulau Natuna, Kepulauan Riau, Potensi energi listrik tenaga arus lautThe morphology condition of the seabed, especially in the strait, can affect the velocity of ocean currents in these waters. Indonesia as an archipelagic country has many islands and straits. Increasing the speed of ocean currents will be very potential to be utilized as one source of alternative energy that is environmentally friendly. Lampa Strait located on the island of Natuna is one of the small islands in Riau Islands Province which is still experiencing energy crisis. This location was chosen as the location of research for the potential energy of Tidal current. The results of sea depth measurements at the study sites overall ranged between 0 meters and 59.59 meters. From the results of the research is known the underwater morphology at this location is generally relatively sloping with a slope of about 5o to 10o But in the strait between the island of Setanau and Setahi Island has a rather steep morphology shown by a more dense contour with a depth ranging from 5 meters to with 30 meters. The result of ocean current measurement and modeling shows that at the location of the strait between Setanau Island and Setahi Island has a stronger ocean current speed ranging from 0,3 meters / second to 1,28 meters / second. So this location is suitable for the placement of turbines of Tidal current power plants.
Karakteristik Pantai dan Resiko Tsunami di Kawasan Pantai Selatan YOGYAKARTA Image
Journal article

Karakteristik Pantai dan Resiko Tsunami di Kawasan Pantai Selatan YOGYAKARTA

Gempa besar yang terjadi di selatan Jawa yang menimbulkan tsunami pada tanggal 17 Juli 2006, telah menimbulkan dampak kerusakan yang dialami oleh kawasan pantai di selatan Jawa, diantaranya pantai Yogyakarta dengan tinggi maksimum sekitar 3,4 meter. Gempa ini mempunyai magnitude M7,7 (USGS, 2006), pada kedalaman 10 km di bawah dasar laut. USGS menyatakan bahwa gempa ini memiliki mekanisme sesar naik dan berasosiasi dengan zona subduksi antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan pada tahun 2002 memperlihatkan bahwa kondisi batimetri di perairan selatan Yogyakarta dari pantai hingga 12 mil ke arah laut lepas berkisar antara 5 hingga 350 meter, yang berangsur makin dalam ke arah laut dengan pola kontur batimetri yang sejajar dengan garis pantai. Berdasarkan karakteristik pantainya, kawasan pantai Yogyakarta dapat dibagi menjadi 2 zona resiko tsunami, yaitu: (1) Zona Resiko Tinggi terdapat pada lokasi dengan bentuk pantai berteluk dan pantai berkantong (pocket beach) di kawasan sepanjang pantai mulai dari Parangendog ke arah timur hingga pantai Sadeng, khususnya pada pantai-pantai yang dimanfaatkan sebagai kawasan wisata atau pemukiman nelayan yang dibangun relatif dekat dengan garis pantai; (2) Zona Resiko Rendah, diperlihatkan di kawasan sepanjang pantai mulai dari Parangtritis ke arah barat hingga pantai Pasir Congot, yang meskipun memiliki morfologi pantai relatif landai dengan garis pantai lurus, namun pemukiman dan bangunan wisat dibangun pada jarak yang relatif jauh dari garis pantai dan berada di belakang gumuk pasir (sand dune) yang berfungsi sebagai pelindung alami dari gelombang tsunami. Kata kunci : tsunami, karakteristik pantai, batimetri, zona resiko tsunami Great earthquake that has generated tsunami occurred offshore south of Java in July 17, 2006. The coast of Yogyakarta was one of the impacted areas by tsunami waves and the maximum tsunami height measured in this area about 3.4 meters. This earthquake has Magnitude M 7.7 (USGS, 2006) with depth of about 10 kms under the seafloor. USGS pointed out that this earthquake was thrust fault mechanism associated with subduction zone between Indo-Australia and Eurasian Plates. Study on marine and coastal geology at the coast of Yogyakarta has been carried out by Marine Geological Institute in 2002. Based on this study, it was known that bathymetry along the coast as far as 12 miles seaward are about 5 meters to 350 meter-depth which are gradually increase contour parallel to the shoreline. Coastal characteristic study along the coast of Yogyakarta indicate that this area can be divided into two zones of tsunami risk; (1) First zone is high tsunami risk, which is represented by coastal area along Parangendog to Sadeng, this area is bay-shape, settlement area generally close to the shoreline without sufficient protection; (2) Flat morphology, with sand dune along Parangtritis to the west, dominated by straight shoreline, and settlement area behind the sand dune, make this area has relatively low in tsunami risk. Keywords: tsunami, coastal characteristic, bathymetry, tsunami risk zone.
Menelusuri Kebenaran Letusan Gunung Merapi 1006 Image
Journal article

Menelusuri Kebenaran Letusan Gunung Merapi 1006

Struktur Geologi Laut Flores, Nusa Tenggara Timur Image
Journal article

Struktur Geologi Laut Flores, Nusa Tenggara Timur

Menelusuri Kebenaran Letusan Gunung Merapi 1006 Image
Menelusuri Kebenaran Letusan Gunung Merapi 1006 Image
Journal article

Menelusuri Kebenaran Letusan Gunung Merapi 1006

Struktur Geologi Laut Flores, Nusa Tenggara Timur Image
Struktur Geologi Laut Flores, Nusa Tenggara Timur Image
Journal article

Struktur Geologi Laut Flores, Nusa Tenggara Timur

Suggested For You
Karakteristik Akustik dan Fenomena Geologi Endapan Sedimen Kuarter Delta Mahakam \u002D Kalimantan Timur Image
Journal article

Karakteristik Akustik dan Fenomena Geologi Endapan Sedimen Kuarter Delta Mahakam - Kalimantan Timur

Teknik stratigrafi sekuen resolusi tinggi yang dikembangkan dari konsep stratigrafi seismik, digunakan untuk mengidentifikasi sekuen pengendapan dalam runtunan sedimen Kuarter di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Dalam studi ini dilakukan USAha untuk menghubungkan pola umum refleksi endapan delta terhadap sifat-sifat akustik. Lapisan sedimen mengandung gas secara akustik biasanya dicirikan oleh zona yang bersifat keruh, diperkirakan berupa diapir lumpur dan/atau akumulasi gas biogenik menghasilkan kontras akustik relatif terhadap batuan sekitarnya. Data penampang seismik di lepas pantai menunjukan sedikitnya empat interval akustik (sekuen pengendapan) yang dipisahkan oleh bidang ketidakselarasan serta menunjukan fenomena akustik yang menyertainya. Kata kunci : Delta Mahakam, akustik, erosi, stratigrafi seismik, sedimen, diapir. High-resolution sequence stratigraphic technique, which is originally derived from the concepts of seismic stratigraphy, is applied to identify depositional sequences within Quaternary strata in Mahakam Delta, East Kalimantan. In this study an effort is made to relate the general pattern of reflection obtained over the submerged delta to the acoustical characteristics. Sediment bearing gas in particular acoustically is indicated by their turbid zones, suspected as mud diapirs and/or accumulation of biogenic gas produce acoustical contrasts with respect to country rock. Offshore seismic profile data indicate at least four acoustic intervals (depositional sequences) separated by unconformities and its associated acoustical phenomena. Keywords : Mahakam Delta, acoustic, erosion, seismic stratigraphy, sediments, diapir.
Read more articles