Recently Published
Most Viewed
Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina Tahun 1969 Image
Journal article

Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina Tahun 1969

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tahapan pembentukan perjanjian Internasional menurut Konvensi Wina Tahun 1969 dan bagaimana kekuatan mengikat suatu perjanjian Internasional serta bagaimana proses berlaku dan berakhirnya suatu perjanjian Internasional. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan disimpulkan: 1. Pada dasarnya pembentukan perjanjian Internasional dapat dilakukan melalui tiga tahap yakni ; Tahap Perundingan, Penandatanganan dan Pengesahan. Secara tehnis perjanjian Internasional melalui proses penyusunan naskah, penerimaan dan pengesahan bunyi naskah. Unsur-unsur formal naskah suatu perjanjian, biasanya terdiri dari mukadimah, batang tubuh, klausula-klausula penutup dan annex. Menurut Pasal. 9 Konvensi Wina, bahwa penerimaan naskah ditentukan dengan persetujuan semua peserta secara bulat atau mayoritas dua pertiga dari peserta yang hadir yang memberikan suara, sedangkan Pasal. 10 menyatakan bahwa pengesahan bunyi naskah dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam perjanjian itu sendiri. 2. Setiap perjanjian Internasional yang telah dihasilkan melalui tahapan pembentukan perjanjian Internasional pada dasarnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap Negara peserta. Mengenai kekuatan atau sifat mengikat perjanjian Internasional secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal. 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian yang menyatakan bahwa : Tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. 3. Pada umumnya suatu perjanjian Internasional dinyatakan mulai berlaku pada saat penandatanganan oleh wakil dari masing-masing pihak yang mengadakan Perundingan, walaupun dalam prakteknya dalam perjanjian multilateral klausul yang mulai berlaku sejak tanggal penandatangan jarang sekali terjadi disebabkan banyaknya para pihak pada perjanjian multilateral tersebut. Sedangkan untuk berakhirnya perjanjian Internasional dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain batas waktu berlakunya perjanjian Internasional sudah berakhir dan tujuan perjanjian sudah berhasil dicapai.
Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal 1244 Dan Pasal 1245 Kitab Undang\u002Dundang Hukum Perdata Image
Journal article

Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal 1244 Dan Pasal 1245 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah faktor-faktor perjanjian yang mempengaruhi Keadaan Memaksa (force majeure) dan bagaimana implikasi pembatalan perjanjian yang disebabkan Keadaan Memaksa (force majeure), yang dengan menggunakan metode penelitian hukum normative disimpulkan bahwa: 1. Keadaan memaksa force majeure / overmach adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, di mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu perjanjian dibuat. Kesemuanya itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut. Faktor yang mempengaruhi keadaan memaksa (force majeure), menurut KUH Perdata ada 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa, yaitu : a.Tidak memenuhi prestasi; b. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur ; c.Faktor penyebab itu tidak dapat di duga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. Apabila terjadi keadaan memaksa (force majeure) dan memenuhi unsur a dan c, maka force majeure/overmacht ini disebut absolute overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat obyektif. Dasarnya adalah ketidakmungkinan (impossibility) memenuhi prestasi karena bendanya lenyap/musnah. Jika terjadi force majeure/overmacht yang memenuhi unsur b dan c, keadaaan ini disebut relatieve overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat subyektif. Dasarnya ialah kesulitan memenuhi prestasi karena ada peristiwa yang menghalangi debitur untuk berbuat. Keadaan memaksa yang menghalangi pemenuhan prestasi haruslah mengenai prestasinya sendiri, karena kita tidak dapat mengatakan adanya keadaan memaksa jika keadaan itu terjadi kemudian. 2. Implikasi hukum keadaan memaksa (force majeure), bahwa keadaan yang menghalangi pemenuhan prestasi itu ada tidaknya hanya jika setiap orang sama sekali tidak mungkin memenuhi prestasinya bahkan debitur sendiri yang bersangkutan tidak mungkin atau sangat berat untuk memenuhi prestasi. Penentuannya harus berdasarkan kepada masing-masing kasus. Impliasinya bahwa debitur tidak harus menanggung risiko dalam keadaan memaksa maksudnya debitur baik berdasarkan undang-undang, perjanjian maupun menurut pandangan yang berlaku dalam masyarakat, tidak harus menanggung risiko. Selain itu karena keadaan memaksa, debitur tidak dapat menduga akan terjadinya peristiwa yang menghalangi pemenuhan prestasi pada waktu perjanjian dibuat.
Suggested For You
Kewajiban Hakim Pengadilan Tinggi Dalam Mempertimbangkan Memori Banding Dan Kontra Memori Banding Dari Aspek Hukum Acara Perdata Image
Journal article

Kewajiban Hakim Pengadilan Tinggi Dalam Mempertimbangkan Memori Banding Dan Kontra Memori Banding Dari Aspek Hukum Acara Perdata

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah Hakim Pengadilan Tinggi Dalam Mempertimbangkan Memori Banding Dan Kontra Memori Banding Dari Aspek Hukum Acara Perdata dan bagaimanakah Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim Memutuskan Perkara Perdata Dalam Persidangan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Kewajiban hakim Pengadilan Tinggi dalam mempertimbangkan memori banding dan kontra memori banding di lihat dari aspek hukum acara perdata meskipun tidak merupakan keharusan dan kewajiban di karenakan tidak ada peraturan yang mengatur bahwa hakim pengadilan tinggi wajib mempertimbangkan memori banding dan kontra memori banding tersebut. Hal ini berdasarkan putusan-putusan pengadilan tinggi dimana hakim dalam putusannya tidak mempertimbangkan memori banding dan kontra memori banding yang di ajukan oleh para pihak yang berperkara diantaranya,yaituPutusan MA Reg. No.: 247 K/Sip/1953 tgl. 6 April 1955. 2. Kewajiban dan Tanggung jawab hakim dalam memutus suatu perkara memang sesuatu yang tidak mudah, karena idealnya putusan itu harus memuat idée des recht atau ide hukum yang meliputi 3 unsur, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Ketiga unsur ini merupakan suatu yang harus dipertimbangkan oleh hakim dan diterapkan secara propesional sehingga dapat diciptakannya suatu keputusan yang berkualitas.
Read more articles