Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari illegal wedding dan peran KUA dalam mengatasi illegal wedding. Dalam tulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan berbagai teori interpretasi. Sebagai sebuah institusi tertua KUA merupakan lembaga hukum yang sangat sentral untuk melaksanakan perkawinan. Dari perkawinan akan lahir hubungan hukum privat seperti hubungan hukum nasab, kewarisan, status harta (dalam perkawinan maupun saat putusnya perkawinan), dan lain lain, maupun hubungan hukum publik, seperti hubungan dengan masyarakat dan Negara.Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat 1; “agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat” dengan adanya keharusan mencatat perkawinan oleh Peraturan Perundang-undangan, maka lahirlah istilah nikah siri untuk menyebut pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan.Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan Pernikahan tanpa wali, Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan -pertimbangan tertentu. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, pernikahan bawah tangan atau yang lazim dikenal Kawin Bawah Tangan (KBT) memiliki konotasi yang tidak baik. Nikah bawah tangan mulai dikenal ketika banyak fenomena para priyayi yang hendak beristri lagi. Nikah siri atau nikah yang tidak di catatkan di KUA akan merugikan salah satu pihak. Maka harus ada peran pemerintah di dalamnya, karena hal ini menyangkut ketertiban dan kesejahteraan warga negara. Masyarakat juga harus ikut serta terhadap pencegahan praktik kawin kontrak dan illegal wedding.