Tujuan: Era desentralisasi menjadikan pemerintah lokal memiliki wewenang untuk mencegah dampak negatif dari konsumsi tembakau. Sekitar 30% kabupaten/kota di Indonesia memiliki perda KTR, namun efektifitas kebijakan tersebut dalam menurunkan prevalensi merokok perlu diteliti. Isi kebijakan KTR hanya membatasi area merokok dan iklan rokok di wilayah yang sebagian besar sebenarnya ada di perkotaan. Bagaimana dengan kebijakan di perdesaan?. Isi kebijakan tiap daerah berbeda-beda yang dapat menimbulkan kesenjangan peraturan antar daerah. Indonesia belum meratifikasi tembakau dan undang-undang tentang pertembakauan belum disahkan pemerintah. Konten: Tidak ada perbedaan jumlah perokok remaja pada daerah dengan dan tanpa KTR. Contohnya di DKI Jakarta yang memiliki regulasi KTR namun Kenyataannya dalam pelaksanaannya tidak selalu dipatuhi. Kebijakan KTR yang ada di daerah tidak memiliki dampak pengurangan merokok pada usia remaja. Kawasan yang telah ditentukan dalam kebijakan KTR merupakan tempat-tempat yang ada di perkotaan misalnya kantor, sekolah, restoran, pasar dan rumah sakit, sedangkan di pedesaan hampir tidak ada tempat pelarangan merokok. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, orang yang merokok setiap hari sebagian besar (25.5%) tinggal di daerah perdesaan. Simpulan: Kebijakan KTR di Indonesia belum efektif. Pemerintah daerah yang tidak menggantungkan sumber pendapatannya dari tembakau dapat lebih tegas peraturannya. Pada daerah tersebut, kebijakan untuk mengurangi prevalensi perokok selain KTR sebaiknya ditambah pembatasan penjualan rokok di warung-warung dan sales penjual rokok di desa-desa. Larangan merokok di dalam rumah belum ada dalam Perda KTR, ini dapat menjangkau perkotaan maupun perdesaan. Fungsi pengawasan harus dicantumkan dengan jelas dalam perda KTR.